Sabtu, 22 September 2018

Pion Ratuloly: Tolong Dibungkus Bedrest-nya ya....


Kejadian ini berlangsung sekitar dua tahun yang lalu. Waktu itu isteri saya dinyatakan hamil. Alat untuk memvonis kehamilannya adalah tespek yang saya beli beberapa hari sebelumnya di apotek. Hati pun berbunga-bunga bagai kamboja yang bemekaran di musim hujan.
Seketika, saya menjelma menjadi suami siaga. Kalau di Pramuka, sedikit lagi naik tingkat jadi suami penggalang, lalu penegak, bahkan pandega. Semua keperluan isteri saya layani dengan baik. Tentu karena tak sabar mendambakan kehadiran sang buah hati yang sedang dikandungnya.
Menginjak kehamilan beberapa minggu, isteri saya mengalami peluruhan flek. Timbul bercak-bercak darah dari pangkal pahanya. Bintik-bintik kecil serupa daging sebiji berluruhan.
Duh, derajat kecemasan saya seketika naik beberapa tingkat secara signifikan. Detak jantung saya pun frekuensinya lebih cepat dari biasanya. Kepanikan saya tidak terbilang.
Saya membujuk sang isteri untuk mengecek keadaannya di puskesmas. Siapa tahu, ada bantuan medis yang bisa diberikan untuk menangani masalahnya.
Akan tetapi, bujukan dan rayuan itu ditolak mentah-mentah oleh sang isteri. Katanya, ia tidak suka dengan aroma puskesmas yang dipenuhi dengan bau obat-obatan. Maklum, ia tidak terbiasa menghirup aroma obat.
Beberapa hari kemudian, di suatu siang, saya kembali mendaratkan bujukan agar sang isteri sudi diajak periksa ke puskesmas. Sumpah, bujukan ini sama getarannya dengan tingkat kekhawatiran saya.
Alhamdulillah. Beliau pun menyanggupi bujukan saya. Kendatipun dengan anggukan yang berat dan lamban. Namun, persetujuan itu spontan membangkitkan semangat saya untuk mengantarnya ke puskesmas. Cayo!!!
Siang yang terik itu, saya membonceng sang isteri dengan menggunakan motor menuju puskesmas. Sesampai di sana kami berjalan kaki menuju ruang rawat inap. Saya tidak tahu kalau awal masuk puskesmas harus melalui UGD. Ketidaktahuan saya karena biasanya saya menjenguk orang ya langsung ke ruang rawat inap.
Begitu tiba di depan meja resepsionis, sembari berdiri menggandeng tangan sang isteri, saya melaporkan kondisi isteri kepada para perawat.

"Maaf, Ibu. Isteri saya sedang hamil muda. Tapi, muncul bercak-bercak darah dari pangkal pahanya. Mungkin bisa dibantu," kata saya dengan suara selantang semangat empat lima meski hati sedang cemas. Takut, kalau-kalau isteri saya berubah pikiran dan memaksa kembali ke rumah.
Salah seorang perawat memberi tahu masalah yang isteri saya hadapi. Lalu cara penanganannya. Namun, karena otak saya memang tidak punya perbendaharaan soal kesehatan, saya tak paham-paham juga. Hal yang saya inginkan saat itu adalah bahwa isteri saya harus rawat inap di puskesmas.
Dalam keadaan bingung berbalut kalut itu, tiba-tiba muncul dari luar seorang perawat yang merupakan adik kelas saya dulu di SMP. Ia menuju kamar perawat lalu kembali berdiri di meja resepsionis. Saya lalu menyampaikan permasalahan isteri saya kepadanya.
"Aduh, Pak. Kalau isteri dalam keadaan begitu, obat satu-satunya cuma bedrest," ujarnya sembari merapikan beberapa berkas di atas meja resepsionis tanpa memandang saya.
"Ya, sudah. Kalau begitu, tolong bedrest dibungkus ya, Bu!" sela saya bersemangat.
Seketika, para perawat yang berdiri di belakang meja resepsionis tersenyum-senyum menatap saya. Bahkan, ada satu dua perawat yang tertawa ringan.
Sekira dua tiga menit berlalu, para perawat itu reda tawanya. Lalu, teman saya yang perawat itu tampil menjelaskan.
"Begini, Pak. Bedrest itu artinya tidur tidak bangun-bangun atau tidak baring-baring. Tidur terlentang saja. Supaya kandungan ibu hamil menjadi kokoh dan tidak goyah," terangnya sembari tersipu-sipu menatapku.
Duar!!!!
Saya jadi senyum-senyum sendiri. Maklum, lantaran terlalu bersemangat, saya tidak bertanya dulu apa itu bedrest. Saya justru langsung meminta para perawat membungkus bedrest itu.
Bagaimana tidak saya minta dibungkuskan bedrest. Kata teman saya yang perawat tadi bahwa sakit isteri saya hanya bisa disembuhkan pakai obat bedrest. Saya mengira, bedrest itu bentuknya sama dengan Bodrex.
Akhirnya, kami berdua memutuskan kembali ke rumah. Biar kami obati saja pakai bedrest yang sudah siap sedia di rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar