Foto: Melky Koli Baran |
Foto: Melky Koli Baran |
Oleh: Melky Koli Baran
Selasa, 22 Maret 2022, bertempat di gedung Multi Event Hall OMK Keuskupan Larantuka berlangsung Seminar Kabupaten bertajuk "Penanggulangan Bencana yang Inklusif Berbasis Masyarakat" kerja sama Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) dan CRS.
Menyesuaikan dengan trend peningkatan kasus Covid-19 di Flores Timur yang saat ini berada pada level 3, seminar menargetkan 50-an peserta dari berbagai unsur pembangunan di kabupaten Flores Timur. Tempat pun jatuh ke gedung OMK dengan kapasitas empat kali dari 60 peserta.
Seminar ini menghadirkan pembicara kunci Ketua Forum PRB Provinsi NTT Buce Ga dan tiga orang pembicara pendukung untuk memperkaya aspek inklusi. Romo Marianus Welan dari Caritas Keuskupan Larantuka memperdalam isu disabilitas. Direktur YASPENSEL Romo Benyamin Daud memperdalam aspek pertanian dengan sharing tentang penguatan petani rentan yang terpapar bencana dan perubahan iklim. Edu Mungga dari CRS di Indonesia memperdalam dari aspek pemberdayaan perempuan melalui SILC. Seminar ini sendiri dibuka oleh Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Flores Timur (BPBD), dalam hal ini diwakili oleh Kabid 1 bidang kesiapsiagaan Yohanes Hayon.
Buce Ga, Ketua Forum PRB Provinsi NTT dalam seminar ini menggarisbawahi bahwa pengurangan risiko bencana merupakan bagian penting dari pembangunan berkelanjutan. Pembangunan yang telah bergerak maju akan mundur jauh jika terjadi bencana. Selain itu bencana juga memicu konsentrasi pembangunan suatu wilayah
Dalam prinsip PRB, yang jadi fokus pembangunan adalah aset-aset kehidupan berkelanjutan. Upaya pengurangan risiko bencana mesti memperkuat aset-aset sebagai kapasitas sebuah wilayah ketika berhadapan dengan ancaman bencana.
Dalam proses ini, peran berbagai elemen dan komponen sosial masyarakat mesti digerakkan secara inklusif. Pendekatan PRB yang memperkuat kelompok-kelompok secara inklusif. Perempuan, anak, disabilitas, kaum miskin dan masyarakat adat. Pendekatan inklusif yang bebas hambatan sosial agar kelompok-kelompok ini berperan aktif dan menentukan dalam pengurangan risiko bencana. Pertanyaan kunci terkait PRB yang inklusif adalah: sejauh mana semua pihak terhubung dan mendapatkan akses yang setara.
Data pilah menjadi faktor penting dalam PRB yang inklusif. Selain itu penting juga memperhatikan aksesibilitas dan partisipasi. Ditegaskan Buce, Inklusi sosial harus ada dalam seluruh siklus penanggulangan bencana. Gerakan strategisnya adalah bagaimana memastikan agar PRB Inklusif terintegrasi dalam rencana pembangunan daerah, mulai dari desa sampai ke kabupaten. PRB Inklusif mesti terintegrasi dalam visi dan misi pembangunan sebuah wilayah. Advokasi tentang hal ini mesti dilakukan.
Selanjutnya Romo Marianus Welan mempersoalkan bahwa kabupaten Flores Timur belum aksesible dan merupakan kabupaten yang belum inklusif. Mestinya, perencanaan pembangunan haruslah inklusif PRB. Cara pikir lembaga penentu anggaran seperti DPRD mesti menjadi lembaga yang berpikir inklusif.
Tentang disabilitas dan PRB, Romo Marianus menegaskan bahwa dalam PRB kawan-kawan difabel bukan obyek tetapi subyek. Mereka bukan kelompok yang tidak mampu. Mereka punya kemampuan khusus. Pendekatan mesti diubah dari pendekatan kebutuhan ke pendekatan aset. Sebab para difabel punya kemampuan. Kemampuan-kemampuan inilah yang kadang diabaikan.
Edu Mungga mewakili CRS dalam seminar ini memperkenalkan SILC (saving and internal lending community) dalam pemberdayaan perempuan. SILC merupakan sebuah metode dan pendekatan CRS dalam penguatan manajemen keuangan kelompok, khusus perempuan. Kelompok perempuan memperkuat diri dalam hal ketahanan keuangan. Melalui kelompok-kelompok ini para perempuan mempraktekan kesiapsiagaan keuangan melalui tabungan sosial.
Di Indonesia, demikian Edu Mungga, SILC merupakan pendekatan penguatan perempuan untuk ketangguhan keuangan dalam menghadapi bencana. Pendekatan ini telah sukses di beberapa negara wilayah kerja CRS.
Lebih jauh Romo Benyamin Daud dari YASPENSEL dalam seminar ini membagi pengalaman kerja YASPENSEL terkait strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim bersama para petani. Menurutnya, merekalah kelompok kecil dan sederhana yang terpapar iklim. Mereka bukan kelompok rentan, tetapi kelompok yang sangat dekat dengan realitas iklim yang memiliki pengalaman panjang beradaptasi dengan iklim, bahkan mampu melakukan mitigasi. Menurutnya, pendekatan pertanian mesti memperkuat aspek adaptasi dan mitigasi mulai dari persiapan lahan, pemilihan benih yang adaptif dan tekhnologi pertanian yang adaptif iklim. ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar