Oleh: Ebed de Rosary
Sebagai orang yang dua tahun berturut-turut meliput pelaksanaan Festival Nubun Tawa di Lewolema dan pertama kali meliput festival Nusa Tadon Adonara, saya melihat berbagai kritik, saran dan pendapat yang disampaikan baik adanya. Karena itu saya sebagai orang yang selalu menulis ritual, tarian, sendratari, drama kolosal dan berbagai atraksi yang ditampilkan saat festival secara langsung di lapangan, ingin menyampaikan beberapa hal terkait dengan pagelaran festival di Flotim.
Apa yang saya sampaikan merupakan pendapat pribadi, hasil pengamatan di lapangan serta wawancara dengan berbagai orang di komunitas, sanggar, sekolah dan lainnya yang terlibat langsung maupun tidak langsung.
Pertama, keterlibatan masyarakat yang hadir sebagai penonton memang masih belum maksimal. Tapi minimal masyarakat yang hadir dan berdomisili di Flotim atas kesadaran sendiri untuk datang menyaksikan festival, bukan didrop atau dipaksakan.
Kedua, ada kebanggaan tersendiri bagi komunitas, sanggar maupun sekolah yang tampil mengisi acara dalam festival ini. Beberapa seni budaya yang selama ini hampir hilang digali kembali dan dikemas menjadi sebuah seni budaya yang bisa dipertontonkan kepada masyarakat umum untuk diapresiasi.
Ketiga, ada peningkatan warga yang datang menyaksikan fesival dan mengenakan kain tenun dibandingkan dengan tahun sebelumnya, khususnya di Lewolema.Tentunya ini membuat penenun bisa mendapatkan tambahan penghasilan.
Keempat, ada peningkatan dari segi kualitas setiap atraksi yang ditampilkan. Menurut saya, penampilan SMP Sanctissima Trinitas Hokeng sangat memukau dan layak diorbitkan ke level yang lebih tinggi. Beberapa teman media luar yang meliput pun mengaku terkesan dengan penampilan mereka. Minimal peserta yang lain bisa mengikuti apa yang dilakukan sekolah ini.
Kelima, dari segi acara memang masih bagus cuma yang jadi catatan penting, kita masih belum tepat waktu dalam melaksanakan kegiatan sesuai dengan run down acara. Jam karet masih berlaku. Ini harus jadi catatan utama untuk dihilangkan. Disiplin waktu sangat penting apalagi kalau festival ini akan dikunjungi wisatawan luar daerah.
Keenam, hemat saya bila memasuki tahun ke 3 maka masyarakat diberi peran besar untuk mengelola sendiri sebuah festival di daerahnya. Pemerintah hanya sebagai supervisi saja. Harus didorong generasi muda yang ada di desa agar bisa mengambil peran ini. Bentuk komunitas kreatif dan mulai belajar untuk mengelola sebuah festival. Keterlibatan pemerintah desa dan generasi muda memang sudah tampak namun harus ditingkatkan.
Ketujuh, sebagai anak Lamaholot, media dan orang yang terlibat langsung menyaksikan dan menulis berbagai sisi festival, saya mengapresiasi festival Lamaholot Nubun Tawa dan Nusa Tadon. Terima kasih kepada panitia dan pemda Flotim khususnya dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang sudah menyelenggarakan festival ini. Ke depan semoga festival serupa bisa mendatangkan wisatawan baik mancanegara maupun domestik untuk menyaksikannya. Namun untuk sampai ke arah sana tentu ada banyak perubahan yang harus dilakukan dan menurut saya di tahun ke 3 pun kita mungkin bisa mengundang wisatawan tetapi tentunya dengan mengadakan berbagai perbaikan baik dari atraksi, ketepatan waktu, kemasan festival dan juga infrastruktur pendukung lainnya.
Kedelapan, harga kain tenun yang dijual ada yang masih mahal hingga mencapai angka satu juta rupiah selembarnya. Tentu harga ini relatif namun perlu dipikirkan agar harga kain tenun bisa lebih murah agar bisa juga dibeli oleh masyarakat lokal yang berpenghasilan rendah. (Ini juga sudah saya buat tulisan dengan meminta pendapat penenun, penjual dan kadis Pariwisata).
Teman media dari Kompas dan National Geographic yang saya tanyai kesannya mengatakan keren mas festivalnya. Banyak hal menarik yang bisa diberitakan.
Semoga penyelenggaraan festival bisa memberi dampak besar bagi masyarakat Flotim, bagi daerah kita Flotim, Lamaholot ke depannya. Tabe []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar