Minggu, 04 Agustus 2019

SP Balela: Sekelumit Inspirasi Pelayanan Seorang Abdi Hukum

Ini sebuah cerita tentang SP Balela, SH, saudara sepupu ayah saya, seorang Jaksa. Saat itu pertama kalinya beliau pulang ke kampung halaman di Lewolere setelah memperoleh gelar Sarjana Hukum di FH Gajah Mada. Sebelumnya, ia tamat sekolah hakim Jaksa (SHD) di Ujung Pandang.
 Beliau disambut dengan acara yang cukup meriah oleh masyarakat di kampung. Tersedia hidangan rengki atau tumpeng sebagai bentuk penghormatan kepada yang dipestakan. Cukup beralasan karena pada saat itu beliau adalah orang pertama di kampung yang meraih gelar Sarjana Hukum bahkan satu satunya dari Flores Timur.
 Sebagai seorang jaksa yang pada saat itu merupakan suatu jabatan yang sangat terhormat dan disegani, penampilannya biasa biasa saja dan sangat bersahaja. Suatu ketika ia bertugas sebagai jaksa di Jogya, ada yang mengirim ayam bakar ke rumahnya. Betapa kaget sang isteri ketika membuka ayam tersebut hendak dihidangkan di atas meja makan. Ternyata dalam perut ayam terdapat uang yang terbungkus plastik.
 Mengetahui itu, SP Balela mencari tahu dari mana asal-usul ayam tersebut. Adiknya yang waktu itu tinggal bersamanya menyebut nama si pengirim. Langsung SP memerintahkan adiknya “Ayo,sekarang juga kembalikan uang itu daripada saya penjarakan orang itu karena sogok”.
 Sang adik masih mencoba untuk meyakinkannya bahwa itu pemberian sukarela. Tidak usah dikembalikan. "Tidak, sekarang juga berangkat dan kembalikan," ujar SP Balela. Saking jujurnya, beliau hidup hanya mengandalkan gaji dari negara. Untuk beli rokok secara rutin saja susah sehingga kadang harus minta dari adiknya.
 Keesokan harinya setelah peristiwa ayam bertelor duit, ia tidak mempunyai rokok sehingga meminta kepada adiknya. Tapi dijawab oleh sang adik “Engko (kamu, red) tidak punya rokok minta ke saya, tapi uang engko suruh kembalikan.. hahaha"
 Tapi itulah SP Balela. Beliau tetap hidup dalam kesederhanaan. Tidak aji mumpung dengan menyalahgunakan jabatan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Ia menjalani prinsip hidup apa adanya dari pada makan uang haram.
 Setelah pensiun ia menetap di kota Ende bersama isteri tercinta. Suatu ketika datang seorang ibu meminta bantuannya karena perkara tanahnya. Dalam putusan di tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, ibu itu kalah.
 Setelah mendengar cerita dari ibu itu, SP Balela mengambil kertas dan mulai menulis : kepada Yth Ketua Mahkamah Agung RI, Bapak Oemar Senoadji, SH. Di Jakarta Saya SP Balela, mantan Jaksa, alumni Fakultas Hukum UGM dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama ibu....dst. Isinya tentang dalil keberatan atas putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. Setelah ditanda tangani, ibu itu disuruh menyerahkannya melalui Pengadilan Negeri untuk dikirim ke MA bersama berkas perkara.
 Apa yang ditulis SP Balela adalah Memori Kasasi atas Putusan Pengadilan Tinggi yang biasanya diketik rapih dengan mesin ketik, atau sekarang dengan komputer. Walaupun Memori Kasasi dalam bentuk tulis tangan tapi hasilnya sungguh luar biasa. Setahun kemudian, putusan kasasi dalam perkara a quo turun. Isinya membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi dan PN sebelumnya dan memenangkan ibu tersebut.
 Kebetulan salah satu Majelis Hakim Agung yang mengadili perkara tersebut di tingkat Kasasi adalah Oemar Senoadji. Ia ketua Mahkamah Agung waktu itu, teman kuliah SP Balela di FH UGM. Dari memori kasasi yang disusun dan ditandangani oleh SP Balela membuat Oemar Senoadji teringat kembali akan sahabat lamanya di Kampus UGM dan sempat menelpon SP Balela.
 Ketika ditanya kabarnya melalui pembicaraan telpon oleh Ketua MA, SP Balela menjawab “Saya sudah pensiun dari Jaksa, kadang kala agak pusing-pusing, namun sempat membantu orang orang kecil yang butuh bantuan hukum dalam kasus yang dihadapi."
 Saking senangnya ibu itu ketika mendengar kabar menang, datanglah ia ke rumah SP Balela untuk menyampaikan terima kasih sekaligus memberi sejumlah uang kepada SP Balela. Di luar dugaan, ternyata SP Balela menolak pemberian ibu itu dengan menyatakan ia hanya berniat membantu ibu sebagai orang yang dirampas haknya. "Saya tidak mencari uang. Saya dan isteri saya sudah cukup hidup dari uang pensiun yang diterima setiap bulan." Ibu itu pun pulang ke rumah dan keesokan harinya secara diam-diam mengirim beras beberapa karung tanpa sepengetahuan SP Balela.
 Suatu ketika, SP Balela bersama temannya yang tiba dari Kantor Mahkamah Agung di Jakarta, sempat mampir dulu di Lombok. Mereka singgah di rumah anaknya, Agus Balela sebelum balik ke Ende. Anaknya ngomong kepadanya “Bapa, itu ada pengacara dari Flores kaya raya. Kenapa Bapa dulu orang paling hebat di Ende, semua orang pasti kenal siapa itu yg namanya SP Balela, tapi kenyataannya tidak ada satupun harta yang ditinggalkan kepada kami anak anak? Sekarang saya harus pontang-panting kerja untuk biayai hidup dan bayar kuliah.
 SP Balela langsung gebrak meja dan mengatakan “Jika kamu mau agar hidup saya seperti yang kamu inginkan, tidak akan sulit saya berbuat itu. Karena di tahun enampuluhan itu banyak orang Ende yang buta huruf. Tidak sulit saya mengkapling-kapling tanah sepuluh hektar di sana untuk dibagikan masing-masing kamu anak saya. Tapi setelah saya mati, kamu akan saling membunuh rebutan tanah. Jangan mengeluh anak, jalani hidup apa adanya,” pinta SP Balela.
 Sekarang SP Balela sudah tidak ada lagi di sini. Ia sudah lama pergi untuk selamanya. Tapi teladan dan cerita tentangnya jika dimaknai dengan sungguh-sungguh, akan mampu menemukan sebuah renungan yg memberi inspirasi kepada saya dan kepada kita semua. Bahwa hidup dengan apa adanya tidak akan mengurangi sedikitpun makna hidup itu sendiri. Jangan pernah menginginkan yang lebih dari apa yg menjadi hak kita.
 Seperti apa yang pernah dilakoni seorang SP Balela semasa hidupnya, sehingga meskipun ia telah pergi dari dunia ini tapi kebajikan tetap tinggal. Ia akan selalu dikenang. Vivit post funera virtus, kebajikan akan hidup terus setelah pemakaman. (Teks: Pieter Hadjon)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar